MOMENTUM NEWS – JAKARTA, Masa depan bangsa Indonesia berada di persimpangan jalan: antara memimpin dengan ilmu pengetahuan dan akal sehat, atau terperosok dalam jurang bencana akibat kebijakan yang lahir dari ketidaktahuan.
Pidato kepemimpinan, jargon-jargon pembangunan, semua akan sia-sia jika elite pengambil keputusan di negeri ini masih gagal memahami perbedaan paling mendasar dalam ilmu lingkungan: Hutan bukanlah Kebun Sawit.
Kesalahan Konsep yang Berbahaya
Menyamakan hutan alam—sebuah ekosistem kompleks yang menjadi penyangga kehidupan—dengan kebun sawit—sebuah komoditas industri murni—bukanlah sekadar kesalahan semantik. Ini adalah kesalahan konsep yang berbahaya, yang dampaknya kita rasakan langsung:
-
Hutan adalah Kesatuan Kehidupan: Hutan menyimpan karbon, mengatur siklus air, menahan erosi, dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati. Ia adalah sistem pendukung kehidupan.
-
Sawit adalah Tanaman Industri: Kebun sawit adalah kegiatan budidaya untuk keuntungan ekonomi semata. Sawit tidak mampu menggantikan fungsi ekologis kritis yang diemban oleh hutan alam.
Ketika para pejabat atau pembuat kebijakan menunjukkan ketidakpahaman ini, dampaknya di lapangan adalah legalisasi perusakan lingkungan dan hilangnya fungsi ekologis yang tak ternilai. Ini adalah petaka besar bagi rakyat yang tinggal di sekitar hutan.
Bencana Bukan Takdir, Tetapi Akibat Kebijakan
Di tengah maraknya bencana hidrometeorologi, kita sering mendengar narasi yang menyederhanakan masalah dengan menyebut banjir dan longsor sebagai “takdir Tuhan” atau “musibah alam.” Ini adalah penolakan terhadap akal sehat dan tanggung jawab.
Kita menghormati keyakinan agama, tetapi kita juga harus menghormati ilmu pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada kita.
Faktanya, banjir yang menyengsarakan, longsor yang merenggut nyawa, dan asap yang mencekik adalah konsekuensi langsung dari:
-
Aktivitas Manusia: Penebangan hutan skala besar.
-
Kebijakan Pemerintah: Pemberian izin konsesi yang mengkonversi lahan ekosistem vital.
Ketika hutan dirusak dan diganti sawit, air tidak lagi tertahan. Saat curah hujan tinggi, bencana adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sepenuhnya takdir; ini adalah akibat dari kebijakan yang tidak didasarkan pada ilmu dan tanggung jawab.
Kebutuhan Mendesak: Kepemimpinan yang Paham Sains
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak lagi bertanya, “Apa bedanya hutan dan kebun sawit?” Kita butuh pemimpin yang tahu jawabannya sejak hari pertama ia menjabat dan menjadikannya dasar dalam setiap pengambilan keputusan.
Kepemimpinan yang kita butuhkan adalah yang:
-
Menghormati Sains dan Hukum Lingkungan: Mengedepankan data dan fakta ilmiah, bukan bisikan kepentingan sempit.
-
Menempatkan Hutan sebagai Penyangga Kehidupan: Mengintegrasikan perlindungan lingkungan dalam rencana pembangunan nasional.
-
Berpihak pada Rakyat, Bukan Korporasi: Mengutamakan kesejahteraan masyarakat adat, petani, dan seluruh rakyat, bukan keuntungan korporasi besar.
Indonesia memiliki peran vital sebagai paru-paru dunia. Kekayaan alam kita tidak akan berarti apa-apa jika bangsa ini dipimpin oleh orang yang menutup mata dari suara ahli dan meremehkan prinsip-prinsip lingkungan dasar.
Ini adalah seruan penyelamatan. Perjuangan ini bukan tentang politik atau kepentingan individu, tetapi tentang masa depan anak cucu kita yang berhak hidup bebas dari bencana, asap, dan ketidaktahuan.
Mari kita wujudkan pemerintahan yang jujur, berilmu, dan berpihak kepada rakyat. Indonesia butuh pemimpin yang cerdas, yang paham bedanya hutan dan kebun sawit. Merdeka!
Oleh: Ch. Harno, Ketua YLBH Samin Sami Aji


