Momentum News – Dalam diskursus hukum tata negara dan pidana, sebuah pertanyaan hipotetis yang menggelitik namun mengerikan sering kali muncul: Bagaimana jika seorang pemimpin—sebut saja “Boneka Raja”—naik ke takhta kekuasaan (Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden) bermodalkan dokumen palsu, dan kejahatan ini diketahui serta dibiarkan oleh seluruh infrastruktur kekuasaan?
Analisis ini bukan tuduhan terhadap individu tertentu, melainkan sebuah framework akademik untuk membedah potensi kejahatan demokrasi yang terstruktur, sistematis, dan masif. Jika skenario ini benar terjadi, kita tidak sedang berhadapan dengan kejahatan pemalsuan biasa, melainkan sebuah konspirasi negara yang meruntuhkan sendi-sendi Rule of Law.
Cacat Hukum Sejak Dalam Kandungan
Secara mendasar, legitimasi seorang pejabat publik dimulai dari keabsahan syarat administratifnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 263 dan 264 sangat tegas mengatur tentang pemalsuan surat.
Ketika seorang kandidat menggunakan ijazah palsu untuk mendaftar ke KPU, ia telah melakukan kebohongan publik. Namun, delik ini menjadi lebih berat ketika ia terpilih dan menjabat. Setiap tanda tangan yang dibubuhkan, setiap kebijakan yang diambil, dan setiap anggaran negara yang dicairkan oleh pejabat tersebut, pada dasarnya berdiri di atas pondasi yang cacat hukum.
Dalam perspektif hukum perdata (Pasal 1365 KUHPerdata), ini adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya moral, tapi materiil. Berapa triliun uang rakyat yang habis untuk membiayai pemilu, gaji, dan fasilitas pejabat yang sejatinya tidak memiliki kualifikasi sah?
Konspirasi dan Pembiaran: The Crime of Silence
Poin paling krusial dalam analisis hipotetis ini adalah keterlibatan pihak lain. Sebuah ijazah palsu tidak mungkin lolos menembus benteng verifikasi KPU, Bawaslu, hingga mata elang partai politik tanpa adanya “lampu hijau” atau tekanan dari kekuasaan yang lebih tinggi.
Jika KPU, petinggi partai, atau bahkan Presiden mengetahui adanya cacat ini namun melakukan pembiaran demi keuntungan politik praktis, maka hukum pidana mengenal konsep Deelneming (Penyertaan) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Mereka yang membiarkan bukan sekadar penonton, mereka adalah pelaku peserta. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang mendiamkan kesalahan fatal demi meloloskan kandidat tertentu telah melakukan Abuse of Power (Penyalahgunaan Wewenang).
Lebih jauh, jika pembiaran ini dilakukan secara sadar untuk melanggengkan kekuasaan dan menguasai sumber daya negara, maka unsur dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pasal 2 dan 3 dapat terpenuhi: menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara.
Pengkhianatan Terhadap Demokrasi dan HAM
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, khususnya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), rakyat memiliki hak untuk mendapatkan pemilu yang jujur dan adil (free and fair election).
Menyodorkan “Boneka Raja” dengan kualifikasi palsu kepada rakyat adalah bentuk penipuan politik terbesar. Ini merampas hak warga negara untuk memilih pemimpin yang berintegritas. Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya (Putusan No. 1465 K/Pid/2006) telah menegaskan bahwa penggunaan ijazah palsu oleh pejabat publik adalah kejahatan serius yang mencederai kepercayaan publik.
Kesimpulan: Runtuhnya Marwah Negara
Jika skenario hipotetis ini menjadi fakta hukum, maka kita sedang menyaksikan sebuah State Capture Corruption—di mana negara disandera oleh segelintir elite yang memanipulasi hukum demi kekuasaan.
Konsekuensinya jelas:
-
Secara Pidana: Pelaku utama dan seluruh “pendukung” yang mengetahui hal tersebut harus dijerat dengan pasal berlapis (Pemalsuan, Penyertaan, dan Korupsi).
-
Secara Tata Negara: Produk kebijakan yang dihasilkan oleh pejabat tidak sah tersebut menjadi batal demi hukum atau setidaknya cacat legitimasi.
Hukum tidak boleh tumpul ke atas. Siapapun, entah itu calon pejabat, penyelenggara pemilu, ataupun pemegang kekuasaan tertinggi, jika terbukti bersekongkol memalsukan syarat kepemimpinan, mereka telah melakukan pengkhianatan terhadap Republik.
Oleh: Ch Harno
(Ketua YLBH Samin Sami Aji)


