MOMENTUM NEWS – Konspirasi Masif Presiden, KPU, dan Penegak Hukum dalam Perspektif Poleksosbud Hankam
Apa yang terjadi jika pucuk pimpinan negara, penyelenggara pemilu, pimpinan partai politik, hingga aparat penegak hukum bersatu padu dalam sebuah kebohongan? Bukan sekadar kebohongan biasa, melainkan sebuah rekayasa dokumen negara ijazah palsu yang digunakan sebagai tiket emas menuju kekuasaan.
Jika hipotesis ini terbukti benar, kita tidak sedang berbicara tentang tindak pidana biasa. Kita sedang menyaksikan sebuah “Petaka Bangsa yang Maha Dahsyat”. Ini adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), sebuah konspirasi jahat yang tidak bermoral terhadap rakyatnya sendiri.
Pertanyaan mendasar yang menggugat nurani kita adalah: Pantaskah para pelaku konspirasi ini sekadar dihukum penjara? Ataukah, menengok budaya malu bangsa lain seperti Jepang, mereka lebih pantas melakukan “Harakiri” sebagai penebusan dosa atas hancurnya martabat negara?
Runtuhnya Legitimasi Politik dan Hukum
Dalam perspektif politik, pencalonan pejabat publik mulai dari Wali Kota hingga Presiden yang didasarkan pada dokumen palsu adalah pengkhianatan terhadap demokrasi. Jika Presiden, KPU, dan partai politik menutup mata atau bahkan memfasilitasi hal ini, maka rule of law telah mati.
Kita menghadapi ancaman lahirnya “rezim boneka” yang beroperasi di atas pondasi kepalsuan. Pemerintahan semacam ini tidak bersumber dari kedaulatan rakyat yang murni, melainkan hasil manipulasi. Secara hukum, ini memenuhi unsur pidana dalam Pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan surat dan keterangan palsu, serta Pasal 55-56 KUHP tentang penyertaan. Artinya, siapa pun yang membantu, membiarkan, atau turut serta dalam skenario ini adalah penjahat konstitusi.
Bencana Ekonomi dan Kehancuran Moral
Dari sisi ekonomi, negara yang dipimpin oleh figur dengan integritas palsu tidak akan pernah mendapatkan kepercayaan (trust) dari dunia internasional. Investor membutuhkan kepastian hukum. Bagaimana mungkin mereka percaya pada kebijakan negara, jika dokumen syarat pemimpinnya saja dimanipulasi? Dampaknya nyata: nilai mata uang merosot, rating investasi anjlok, dan modal asing hengkang. Biaya pemulihan reputasi bangsa ini akan sangat mahal, jauh lebih mahal dari sekadar biaya pemilu ulang.
Lebih mengerikan lagi adalah dampak sosial-budayanya. Kita sedang mengajarkan kepada generasi muda bahwa “kejujuran tidak penting, yang penting adalah kekuasaan.” Ini adalah erosi etika publik yang parah. Terjadi distrust (ketidakpercayaan) masif antara rakyat dan negara. Modal sosial bangsa hancur. Ketika ijazah palsu dinormalisasi oleh elit, maka runtuhlah marwah dunia pendidikan kita.
Ancaman Pertahanan dan Keamanan
Dalam perspektif Hankam, pemimpin yang cacat legitimasi adalah titik lemah pertahanan negara. Kepemimpinan yang diragukan keabsahannya membuat komando pertahanan menjadi rapuh dan mudah didikte oleh kekuatan asing (proxy). Di dalam negeri, ketidakpercayaan publik berpotensi memicu pembangkangan sipil, demonstrasi besar-besaran, hingga konflik horizontal yang membahayakan stabilitas nasional.
Konklusi: Hukuman Mati, Mundur, atau Harakiri?
Analisis ini membawa kita pada kesimpulan yang mengerikan. Jika konspirasi ini melibatkan Presiden, KPU, Menteri, dan Penegak Hukum secara kolektif, maka ini adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap demokrasi.
Dalam prinsip good governance dan budaya malu yang tinggi, pejabat yang terlibat seharusnya tidak perlu menunggu vonis pengadilan. Mundur dari jabatan adalah standar etika terendah. Namun, mengingat besarnya kerusakan sistemik yang ditimbulkan—mulai dari hancurnya tatanan hukum hingga moral bangsa—rasanya sanksi moral seberat “Harakiri” (dalam makna filosofis pertanggungjawaban mutlak) atau hukuman maksimal (mati/seumur hidup) bagi pengkhianat konstitusi, menjadi wacana yang relevan untuk diperdebatkan.
Rakyat berhak menuntut: Apakah kita akan membiarkan negara ini dipimpin oleh hasil konspirasi kebohongan, atau kita akan bergerak menuntut pemulihan martabat bangsa? Pilihan ada di tangan kita semua.
Oleh: Ch Harno
(Ketua YLBH Samin Sami Aji)


